
Istilah "Bias Gender" biasa digunakan untuk
menunjukkan suatu kondisi pembedaan yang merugikan kaum wanita dan
menguntungkan kaum pria sebagai akibat dari perbedaan jenis kelamin. Sedang
istilah "Kesetaraan Gender" biasa digunakan untuk menunjukkan suatu
kondisi yang posisi peran dan tanggung-jawab wanita dan pria setara tidak
berbeda dalam semua hal.
Kini, dalam konteks Wawasan Kebangsaan, penulis mencoba
menawarkan istilah "Keserasian Gender" untuk menunjukkan suatu
kondisi keharmonisan dalam perbedaan peran dan tanggung-jawab antara laki-laki
dan perempuan. Ini penting, karena Islam sebagai agama mayoritas bangsa
Indonesia memiliki aturan yang komprehensif tentang pembagian peran dan
tanggung-jawab antara pria dan wanita sesuai dengan aspek biologis dan
psikologisnya masing-masing secara adil. Dengan "Keserasian Gender"
akan terwujud keharmonisan hubungan antara jenis pria dan wanita dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara untuk menuju Indonesia yang
adil dan makmur. Insya Allah !
ISLAM DAN GENDER
Di masa jahiliyyah, hampir seluruh bagian dunia menempatkan
wanita sebagai jenis hina, makhluk rendah, manusia kelas dua, pelengkap
kehidupan, barang hiburan, pemuas hawa nafsu, sumber dari segala dosa dan budak
rumah tangga. Wanita menjadi korban ketidak-adilan dan mangsa penindasaan
selama berabad-abad.
Di Jazirah Arab, mengubur hidup-hidup anak perempuan menjadi
tradisi yang dibanggakan. Lalu Rasulullah Muhammad SAW datang menyinari dunia
dengan Risalah Islam yang membela wanita dari ketidak-adilan dan
menyelamatkannya dari penindasan, bahkan mengangkat derajatnya ke tingkat yang
sangat terhormat dan memberi perlindungan tingkat tinggi, serta
memperlakukannya dengan seadil-adilnya.
Islam tidak melarang kaum wanita untuk berkarir dan
berprestasi dalam bidang pendidikan, ekonomi, politik, sosial, budaya dan
tekhnologi, selama terpenuhi rukun dan syaratnya, serta tidak dilanggar batasan
syariatnya. Bahkan dalam Islam, wanita diwajibkan untuk menuntut ilmu
sebagaimana diwajibkannya kaum pria. Dalam ketaatan kepada Allah SWT dan Rasulullah
SAW, wanita dan pria punya kewajiban yang sama, serta mendapat janji dan
ancaman yang sama pula. Ada pun dalam pembedaan peran dan tanggung-jawab antara
laki-laki dan perempuan dalam harmoni kehidupan, maka Islam menetapkan aturan
yang sangat adil sesuai aspek biologis
dan psikologis masing-masing jenis kelamin, untuk mewujudkan "Keserasian
Gender" yang mencerminkan "Keadilan Gender" dalam makna yang
benar.
Dalam Islam, wanita makhluk mulia dan terhormat yang
memiliki harkat dan martabat yang tinggi, bahkan memiliki sejumlah keistimewaan
yang tidak dimiliki kaum pria. Islam menjadikan penghormatan kepada ibu tiga
kali lebih utama dari pada penghormatan kepada ayah. Islam menempatkan surga di
telapak kaki ibu, bukan di telapak kaki ayah. Islam mewajibkan pria yang
membayar mahar perkawinan kepada wanita, tidak sebaliknya. Islam mewajibkan
pria untuk memberi perlindungan kepada wanita, bukan sebaliknya. Islam mengutamakan
pihak wanita dari pada pihak pria dalam hak hadhonah (pemeliharaan anak) saat
terjadi perceraian. Islam membebankan pria dengan kewajiban berat yang tidak
dibebankan kepada wanita, seperti mencari nafkah, menegakkan shalat berjama'ah
di masjid, melaksanakan shalat Jum'at, memimpin negara dan jihad.
Bahkan dalam sejumlah hal yang tidak sedikit, Islam lebih
memperhatikan wanita dari pada pria. Misalnya, dalam pembagian warisan, ana
laki mendapat bagian dua kali bagian anak perempuan dari warisan ayahnya yang
meninggal dunia, dengan ketentuan bahwa si anak laki berkewajiban untuk
menanggung nafkah ibu dan saudari-saudarinya yang ditinggal sang ayah, sedang
si anak perempuan tidak diwajibkan yang demikian itu. Secara matematis, bagian
warisan anak laki dalam waktu tertentu akan habis terpakai untuk pembiayaan
keluarga, sedang bagian warisan anak perempuan akan tetap tidak berkurang.
Misal lainnya, dalam soal pemberian (hadiah / hibah), Islam
menganjurkan penyama-rataan bagian antara anak laki dan perempuan, bahkan jika
harus dibedakan maka dianjurkan bagian anak perempuan yang dilebihkan dari pada
bagian anak laki, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabrani
rhm dan Imam Al-Baihaqi rhm tentang sabda Nabi Muhammad SAW yang bunyi terjemahannya
: "Samakanlah di antara anak-anakmu dalam pemberian. Andaikata aku
melebihkan bagian seseorang (dari anak-anakku), niscaya aku lebihkan bagian
anak perempuan." Disana masih banyak lagi dalil-dalil Al-Qur'an dan
As-Sunnah yang menunjukkan keistimewaan wanita yang tidak dimiliki pria.
Silakan menelusurinya bagi yang ingin tahu lebih banyak.
Selain itu, Islam memberi wanita "cuti rutin" dari
shalat tanpa qodho dan puasa dengan qodho saat haidh atau nifas. Tentu ini hal
yang sangat istimewa buat kaum wanita, sebagai rahmat dari Allah SWT untuk
memudahkan kehidupan mereka dan meringankan bebannya. Betapa Islam "memanjakan" kaum
wanita dengan penuh cinta dan kasih sayang. Subhanallah !
BARAT DAN GENDER
Kaum wanita di Barat mengalami nasib tragis berupa penindasan
berkepenjangan akibat jenis kelamin. Dari zaman Yunani kuno hingga zaman modern
sekali pun, wanita divonis sebagai manusia cacat, bahkan dianggap sebagai
makhluq setengah manusia, sehingga hanya menjadi objek perlakuan
sewenang-wenang dari kaum pria yang merasa sebagai manusia utuh dan sempurna.
Sementara agama yang mereka anut tidak memberikan solusi sejati terhadap
persoalan tersebut.
Akumulatif kekecewaan dan sakit hati kaum wanita di Barat
telah melahirkan Gerakan Feminisme yang merupakan pemberontakan wanita Barat
terhadap kezaliman kaum prianya. Sekitar tahun 1970-an, Gerakan Feminisme di
London melahirkan tuntutan "Gender Equatity" (Kesetaraan Gender),
yaitu tuntutan penyetaraan serta penyamaan peran dan tanggung-jawab laki-laki
dan perempuan, mulai dari persoalan individu, keluarga hingga urusan negara.
Hingga kini pun, Barat tidak punya solusi bagus untuk
mengatasi persoalan "Bias Gender" yang terus berlangsung hingga saat
ini. Sekali pun di Barat telah terjadi Gerakan Feminisme secara besar-besaran
dalam tuntutan "Kesetaraan Gender", namun pada prakteknya tetap saja
Barat menempatkan wanita hanya sebagai "Budak Syahwat". Lihat saja,
dengan dalih modernitas, kecantikan wanita difestivalkan, dan keindahan
tubuhnya dipertontonkan, serta goyang erotisnya diperlombakan. Bahkan tarian
wanita telanjang (striptis) dijadikan objek wisata resmi, dan pelacuran pun
dijadikan profesi kerja legal bagi perempuan. Semua itu fakta tak terpungkiri,
bahwa kaum lelaki di Barat tetap dijadikan nomor satu sebagai
"pembeli" dan "pemakai", sedang kaum perempuan tetap
dijadikan nomor dua sebagai objek yang "dibeli" dan
"dipakai".
Dengan demikian, latar belakang persoalan Gender di tengah
masyarakat Barat dan penanganannya tidak sama dengan apa yang terjadi dalam sejarah
Islam. Islam tidak pernah punya persoalan dengan "Gender". Dalam
Islam tidak ada "Bias Gender", sehingga Islam tidak butuh
"Kesetaraan Gender". Islam telah mengajarkan dan mengamalkan konsep
"Keserasian Gender" yang sangat sempurna dan menakjubkan sejak hampir
lima belas abad lalu, melalui praktek kehidupan Rasulullah SAW dan Ahlul Bait
serta Para Shahabatnya yang mulia, rodhiyallahu 'anhum. Alhamdulillah !
INDONESIA DAN GENDER
Para pegiat Kesetaraan Gender di Indonesia berasal dari
kalangan Liberal, karena Kesetaraan Gender sebagai salah satu jargon Feminisme
memang lahir dari rahim Liberal. Gerombolan Liberal sudah sejak lama melakukan
gerakan sistematis dan strategis untuk menggolkan proyek "Kesetaraan
Gender". Di tahun 1980, mereka berhasil menyusup dan mempengaruhi
Pemerintah Republik Indonesia untuk ikut menandatangani Konvensi Kesetaraan
Gender yang dicetuskan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Kopenhagen. Konvensi
tersebut dikenal sebagai "Convention on The Elimination of all forms of Discrimination
Againts Women" yang disingkat dengan CEDAW.
Lalu di tahun 2000, mereka sukses mendorong Pemerintah RI
untuk menerbitkan Instruksi Presiden No.9 Th. 2000 tentang Pengarus Utamaan
Gender dalam Pembangunan. Dengan Inpres ini, Pemerintah RI ingin menunjukkan
keseriusan komitmennya terhadap kesepakatan CEDAW yang pernah
ditandai-tanganinya.
Dan di sekitar tahun 2006, melalui salah seorang pegiat
Kesetaraan Gender yang aktiv di Pengarus Utamaan Gender - Departemen Agama RI,
mereka melemparkan Draft Counter Legal - Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang
berisi usulan perubahan pasal-pasal perkawinan dan warisan dalam KHI, seperti
larangan poligami, pemberian hak thalaq kepada wanita, penyamaan bagian waris
anak laki dan perempuan, pemberlakun masa 'iddah bagi pria, dan sebagainya.
Selanjutnya di tahun 2011, para pegiat Kesetaraan Gender di
Komnas HAM dan Komnas Perempuan serta LSM-LSM LIBERAL lainnya, telah berhasil
mendorong pembentukan Tim Kerja (Timja) yang mengatas-namakan Kaukus Perempuan
di DPR RI, untuk menyusun Draft Rancangan - Undang-Undang Kesetaraan dan
Keadilan Gender ( RUU - KKG ). Konon kabarnya, Timja tersebut telah melakukan
studi banding ke Eropa dengan biaya milyaran rupiah yang berasal dari uang
anggaran negara. Kini, rencananya DPR RI akan membentuk Panitia Kerja (Panja)
untuk menggodok lebih lanjut RUU tersebut. Prosesnya memang masih panjang, tapi
langkah untuk melahirkan UU KKG makin nyata, konkrit dan jelas.
Sebenarnya, Indonesia tidak punya persoalan dengan Gender,
karena mayoritas bangsa Indonesia menganut ajaran Islam yang tidak "Bias
Gender". Dan fakta lapangan pun dengan terang benderang menunjukkan bahwa
wanita Indonesia memperoleh kebebasan berkarir dan berprestasi di segala bidang
dengan jaminan perundang-undangan yang senantiasa terikat dengan norma-norma
suci agama dan nilai-nilai luhur budaya. Lihat saja, wanita Indonesia ada di
segala bidang, mulai dari sebagai ibu rumah tangga, guru, petani, nelayan,
buruh pabrik, sarjana, cendikiawan, dokter, insinyur, ekonom, saintis, politisi,
pejabat, menteri, anggota dewan, pimpinan partai, wartawan, kolumnis,
presenter, motivator, pedagang eceran, pengusaha berkelas, bankir, direktur,
komisaris, polisi, tentara, pengacara, jaksa, hakim, pramugari, pilot hingga
supir sekali pun, dan lain sebagainya.
Karenanya, Indonesia tidak butuh UU KKG atau UU sejenisnya
yang bertentangan dengan Syariat Islam yang menjadi ruh sebenarnya dari
pilar-pilar kebangsaan Indonesia.
Penulis: Habib Muhammad Rizieq Syihab, MA
Sumber: Suara-Islam.com
Tambahkan Komentar:
0 komentar, tambahkan komentar Anda